Episode meramu bumi dalam secangkir kopi, sepiring nasi, kini hanya ada tangis pendaringan. Denting lakon menohok dalam baskom air mata. Corona itu datang henghempas segalanya. Penanak nasi cuti, penggorengan tengkurap dalam diam, dan panci panci tersembunyi.  

Hari hari berlalu selalu terdengar singkong berbisik  pada piring beralas daun talas tanpa teman kecuali cabe yang selaku berdampingan tertanam di tanah turun temurun. “Mengapa aku selalu di rebus tanpa sari manis? Mengapa kau cabe yang terus berteman dalam perut?” Tak ada jawab. Kebun sepetak  hanya bisa di tanam cabe dan singkong. Padi tak pernah menguning karena matahari sulit menerobos. Butiran beras berkarung hanya ada di pasar semakin tak terjangkau. Singkong rasa pedas itu pun terlahap dalam senyum getir melintir. Kopi pahit mengusik lidah . Fajar di ufuk timur, timbul tenggelam terhalang awan hitam yang berarak. Padmi menarik nafas panjang. Kala mata elangnya menyapu dinding bercat pudar, hati terhibur.  Disana tergantung  potret diri tersungging senyum di bibir  ba' delima merekah dengan tangan mengusung piala. Diri berbalut baju lakon dari epos Ramayana dan Mahabharata. Kecantikan mencuat sempurna dari wajahnya yang eksotik. Keanggunan terlukis indah sebagai tokoh Srikandi. Irah-irahan bergerigi bertengger di kepala bertajuk seorang putri prajurit. Liuk diri, jiwa menyatu, pakem kuat melekat, mengusung nama Padmi sang pemenang dan menjadi kembang panggung , bertengger di puncak , menyulam warna pelangi.

Padmi menarik nafas panjang. Jejak keemasan terhembas badai corona, menoreh  dada, membentuk kubangan luka dan  Mentari redup terhalang kabut. Sangat pekat. Bintang baru teraih harus terlepas kembali  bersamaan terbangnya bayang pundi pundi.

Mata menatap nanar potret potret dalam bingkai usang di dinding. Senyum mengembang melihat potret diri semasa kecil. Pesona rembulan memancar. Tatap mata ke depan menyimpan kata: " kan ku raih bintang.." 

Tekad kuat membaja, bintang teraih. Peniti emas lambang garuda, mencolok di dada kini hanya ada dalam gambar. Sang peniti emas telah tergadai dan foto usang dalam bingkai itu mengoyak jiwa hingga sebutir Mutiara jatuh di punggung jari. Hati berguman, “Lihat, garis halus mulai berunjuk gigi. Jari kaku menyerta. Oh, Gusti.”

Padmi menarik nafas Panjang. Dulu jari jemarinya begitu gemulai mengikuti irama gendang. Kuku kuku panjang bertinta warna warni penuh pesona. Setiap beraksi, kilat foto tak henti mengambil gambar. Tepuk tangan dan sorak sorai membahana diantara dinding gedung megah sampai istana. 

Tiba- tiba di luar terdengar konser gluduk menghiasi langit yang mulai temaram tak lama alunan symphony rinai hujan. Selaras dengan okresta alam, terkuak pintu dan Padmi berlari menyambut  bagai ombak yang terus mengejar selancar. Sejenak nestapa yang mengoyak jiwa, musnah seiring awan berarak dalam pekat menuju selatan. Bersama symphonyi rinai hujan, tawa lepas ke jagat raya. kemudian
tapak kaki berjalan jinjit diantara rumput rumput liar dengan dendang riang. Pada batang pelepah, angin berbisik dan dedaunan  pisang melambai riuh gempita bagai tepuk tangan di baleriung memompa semangat  Padmi  untuk terus berlakon Srikandi. Sukma terasuk prajurit dalam wayang kala diri menyebur sungai di bawah kaki gunung Pangrango.  Geliat tangan menyibak kencang deras air nan  liar yang menggelitik  nakal hingga dada. Tersembulah dua gunung bergelayut nyata di balik jarit. 

Ah....air itu seakan menikmati tubuh seksi Padmi yang terus meliuk liuk. Namun tiba tiba, pementasan tari dalam air terhenti. Biji mata Padmi menyembul ba’ bola pimpong, Tangan mendekat Kuping lalu menelisik diantara gemericik air atas gema suara dalang nan merdu.

"Dhandhanggula-Penganten Anyar "? Tanya Padmi dalam telisiknya. Ia terus menyimak dalam diam.

Kan-thi nye-but ing As-ma -ne Gus-ti
A -mung kon-juk mring Pa -du - ka Gus-ti

 

Gus -ti A - llah ing kang Ma-ha Mi-rah
Ham-ba nyem-bah sa - ha ku -ma-wu -la

Ma - ha A – sih se – ja – ti - ne
A-ngre – re - pa dhe- pe dhe-pe

Pu -ja lan pu - ji i - ku
Ham-ba nyu -wun pi - tu - lung

A - mung A - llah ing kang ndar -be -ni
Ti- ne - dah - na mar- gi kang yek -ti

Gus-ti - ne ja - gat ra- ya
Mar-gi -ne ti - yang ka - thah

Ya a -lam sa -we gung
Ing-kang ba- gya tu- hu

Ma-ha we -las a - sih ce - tha
Pa-du- ka pa - ri - ngi nik- mat

Kang gra –ton - i di -na - ning A - ga - ma yek - ti
Sa - nes mar - gi be ben -du lan sa -sar sa- mi

Ku - kud - ing a - lam ndo – nya   
A - min tu - tup - ing do – nga

“Siapakah engkau?” Padmi berteriak namun tak ada jawab. Ia pun berlari kian kemari diantara deras air sungai oleh hujan tak henti mencari ke arah suara. Namun tak tercium bau manusia. Sejenak jiwa melerai hati. Sekejap durja menengadah dengan mata terpejam. Kemudian ia tertawa dan kembali berlakon Srikandi. 

Duren Sawit’22 pada masa isoman.

Halimah Munawir. novelis dan pengurus harian IWAPI Jakarta.

Puisi Halimah

Kebesaran-NYA Atas Bumi - Halimah Munawir

Rumah Tanpa Tiang Karya Halimah Munawir

Mencari Jejak Karya Halimah Munawir

Kesombongan Menutup Hati Karya Halimah Munawir

Jihad Ramadhan - Halimah Munawir

Air Karya Halimah Munawir

Dia Ada Bukan Dusta Karya Halimah Munawir Part: 1

Kesombongan Menutup Hati Part 2 Karya Halimah Munawir

Titik Nadir - Halimah Munawir

Tafakur Karya Halimah Munawir

Dia Ada Bukan Dusta Karya Halimah Munawir Part: 2

Bukan Cerita Seorang Penyair - Karya Halimah Munawir