Halimah Munawir adalah seorang perempuan Indonesia pengusaha yang juga menyukai seni yang diketahui punya komitmen kuat dalam pengembangan seni budaya Tanah Air.

Lahir dari pasangan orangtua wirausaha, Halimah muda adalah tipe orang yang tidak bisa diam dan serba ingin tahu.

Berkesenian bukan bagian dari kegiatan keluarga melainkan timbul begitu saja setelah duduk di bangku sekolah. Tak ada anggota keluarga lain yang suka berkesenian.

Kakaknya ada yang menjadi suster, dosen, dan guru ngaji. Ketika itu, Halimah muda menginjak bangku sekolah ia ikut beberapa kegiatan kesenian seperti paduan suara, tari, dan teater dibawah bimbingan Didi Petet.

Bersamanya, pengurus Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) yang telah memiliki cucu ini pernah berpentas di gedung Granada (sekarang Plaza Semanggi).

Selain menulis puisi dan cerita pendek di majalah dinding, ia juga ikut sanggar tari milik keluarga Ita Laksmi dan Ratih, serta sempat aktif di teater Bela di bawah naungan Radio ARH, Taman Ismail Marzuki.

Menariknya sudah banyak novel yang sudah ditulisnya, bahkan ada yang sudah difilmkan. Kegiatan menulis ini sudah ditekuninya sejak SMA. Saat itu yang ditulisnya terutama adalah puisi.

Setelah mencurahkan isi hati dalam bentuk puisi rasanya hati terasa damai dan tenang sehingga hampir setiap hari ia menulis di buku harian.

Namun demikian, pada awalnya buku yang ditulisnya adalah biografi tokoh yakni Mbok Berek dan Success Story Nila Sari.

Namun seiring perjalanan waktu, ketika anak-anak mulai beranjak remaja dan lantaran dirinya selalu meleburkan diri di antara kawan-kawan mereka, maka muncul inspirasi untuk membuat novel.

Kemudian tercetus novel The Sinden, Sahabat Langit, Sucinya Cinta Sungai Gangga, dan Kidung Volendam yang diterbitkan Gramedia.

Selain novel, ia pun menulis antologi puisi yakni Tombak Lentera, Akar, dan sehimpun puisi dwibahasa Bayang Firdaus.

Tak hanya itu, ia terus menulis cerpen untuk beberapa media massa dan puisi bersama dengan para pesyair lainnya pada beberapa buku antologi puisi yang dicetak secara indie.

Menarik mengetahui mengenai peran perempuan dalam perkembangan seni budaya di Indonesia, ia mengatakan bahwa peranan perempuan bagi perkembangan seni budaya Indonesia sesungguhnya strategis dan tidak dapat dianggap remeh.

Menurutnya, dibelakang para tokoh seni-budaya, ada peran perempuan sebagai pendamping yang memberi dukungan bahkan dijadikan objek inspirasi.

Seiring semakin berkembangnya emansipasi, banyak bermunculan tokoh seni budaya dari kalangan perempuan. Ini adalah sebuah kemajuan yang harus diviralkan kepada perempuan-perempuan lainnya, sebab dalam seni-budaya terkandung makna mendalam yang dapat menjadi sebuah terapi.

Sebagai perempuan yang menyandang kata ibu dan berdiri di garda paling depan untuk mencetak anak-anak yang berperilaku sopan-santun, hormat dan hidup bahagia, seharusnya perempuan mengambil peran dengan menjadikan seni-budaya sebagai konsumsi anak-anaknya karena semua itu bisa didapat dari seni-budaya yang telah ada sejak zaman nenek moyang.

Menjadi reramat penting bagi seorang perempuan untuk mengambil peran dalam memahami makna di balik seni-budaya yang sarat dengan filosofi hidup dan berkehidupan.

Problemnya, paham paternalistik di Indonesia masih memojokkan perempuan pada kodratnya sebagai ibu rumah tangga sehingga kreativitas seni-budaya yang ada pada diri perempuan tidak maksimal untuk dikembangkan.

Namun sebagaimana uraian di atas, penyebaran virus seni-budaya jangan hanya terbatas pada golongan akademisi, melainkan para perempuan yang telah menyandang kata ibu yang dalam kesehariannya bercengkerama dengan anak-anak.

Kuatnya komitmen yang dimiliki oleh Halimah untuk perkembangan seni-budaya terbukti menyulap sebuah vila di kawasan Mega Mendung, Puncak, sebagai rumah budaya.

Awalnya ketika sedang ramai pembicaraan masalah kawin kontrak di Puncak, ada seorang teman yang dosen Universitas Indomesia memintanya agar membuat buku ajar tentang tatanan sosial perempuan Puncak.

Ia pun lantas mengadakan riset kecil. Hasil dari riset itu membuka mata hatinya terhadap fakta terjadinya kawin kontrak yang sangat merugikan para remaja perempuan dan tak jarang mereka menjadi korban dari sebuah pemahaman yang salah.

Hati kecilnya pun mengatakan pada saat itu yang lebih utama bukanlah membuat buku namun memberi sebuah solusi, ruang kreativitas tempat anak-anak dapat berkegiatan di waktu luang mereka.

Menurut pendapatnya, dalam situasi seperti itu yang paling tepat adalah pembelajaran seni-budaya. Kebetulan ia memiliki vila di Mega Mendung, maka difungsikanlah vila tersebut sebagai Rumah Budaya HMA.

Namun sayangnya, riset yang semula menjadi titik tolak tindakannya ini sekarang malah kandas ditengah jalan alias tidak menjadi buku ajar.

Dalam perkembangannya, Rumah Budaya HMA juga membuka diri bagi siapa saja yang ingin mengadakan kegiatan seni-budaya tidak hanya bagi mereka yang berada di seputar Puncak melainkan juga dari luar kawasan tersebut.

Mengapa?

Supaya ada pergerakan ekonomi kreatif yang mandiri dengan membangun beberapa lokasi tempat mereka menginap.

Adapun mengelola sebuah rumah budaya dengan lokasi yang berada di kaki gunung tentunya punya kendala tersendiri.

Kendalanya, Rumah Budaya HMA tidak terjangkau kendaraan umum sehingga sulit bagi para peseni dan budayawan untuk datang berkegiatan.

Harapannya, kedepannya pemerintah daerah bisa mendukung dengan akses atau sarana transportasi agar Rumah Budaya HMA yang lokasinya di tengah-tengah pusat wisata Puncak, menjadi alternatif bagi wisatawan berkunjung sebagai tempat wisata budaya. (Gabriel Bobby/Ritmanto Saleh)